Kurban
dalam bahasa Arab sendiri disebut dengan qurbah yang berarti mendekatkan diri
kepada Allah. Dalam ritual Idul Adha itu terdapat apa yang biasa disebut
udlhiyah (penyembelihan hewan kurban). Pada hari itu kita menyembelih hewan
tertentu, seperti domba, sapi, atau kerbau, guna memenuhi panggilan Tuhan.
Idul
Adha juga merupakan refleksi atas catatan sejarah perjalanan kebajikan manusia
masa lampau, untuk mengenang perjuangan monoteistik dan humanistik yang ditorehkan
Nabi Ibrahim. Idul Adha bermakna keteladanan Ibrahim yang mampu mentransformasi
pesan keagamaan ke aksi nyata perjuangan kemanusiaan.
Dalam
konteks ini, mimpi Ibrahim untuk menyembelih anaknya, Ismail, merupakan sebuah
ujian Tuhan, sekaligus perjuangan maha berat seorang Nabi yang diperintah oleh
Tuhannya melalui malaikat Jibril untuk mengurbankan anaknya. Peristiwa itu
harus dimaknai sebagai pesan simbolik agama, yang menunjukkan ketakwaan,
keikhlasan, dan kepasrahan seorang Ibrahim pada titah sang pencipta.
Menurut
Ali Syari’ati (1997), ritual kurban
bukan cuma bermakna bagaimana manusia mendekatkan diri kepada Tuhannya, akan
tetapi juga mendekatkan diri kepada sesama, terutama mereka yang miskin dan
terpinggirkan. Sementara bagi Jalaluddin Rakhmat (1995), ibadah kurban
mencerminkan dengan tegas pesan solidaritas sosial Islam, mendekatkan diri
kepada saudara-saudara kita yang kekurangan. Dengan berkurban, kita mendekatkan
diri kepada mereka yang fakir. Bila Anda memiliki kenikmatan, Anda wajib
berbagi kenikmatan itu dengan orang lain. Bila Anda puasa, Anda akan merasa
lapar seperti mereka yang miskin. Ibadah kurban mengajak mereka yang
mustadh’afiin untuk merasakan kenyang seperti Anda. Atas dasar spirit itu,
peringatan Idul Adha dan ritus kurban memiliki tiga makna penting sekaligus.
Pertama,
makna ketakwaan manusia atas perintah sang Khalik. Kurban adalah simbol penyerahan
diri manusia secara utuh kepada sang pencipta, sekalipun dalam bentuk
pengurbanan seorang anak yang sangat kita kasihi.
Kedua,
makna sosial, di mana Rasulullah melarang kaum mukmin mendekati orang-orang
yang memiliki kelebihan rezeki, akan tetapi tidak menunaikan perintah kurban.
Dalam konteks itu, Nabi bermaksud mendidik umatnya agar memiliki kepekaan dan
solidaritas tinggi terhadap sesama. Kurban adalah media ritual, selain zakat,
infak, dan sedekah yang disiapkan Islam untuk mengejewantahkan sikap kepekaaan
sosial itu.
Ketiga,
makna bahwa apa yang dikurbankan merupakan simbol dari sifat tamak dan
kebinatangan yang ada dalam diri manusia seperti rakus, ambisius, suka menindas
dan menyerang, cenderung tidak menghargai hukum dan norma-norma sosial menuju
hidup yang hakiki.
Menurut
Ali Syari’ati, kisah penyembelihan Ismail, pada hakikatnya adalah refleksi dari
kelemahkan iman, yang menghalangi kebajikan, yang membuat manusia menjadi egois
sehingga manusia tuli terhadap panggilan Tuhan dan perintah kebenaran. Ismail
adalah simbolisasi dari kelemahan manusia sebagai makhluk yang daif, gila
hormat, haus pangkat, lapar kedudukan, dan nafsu berkuasa. Semua sifat daif itu
harus disembelih atau dikorbankan. Pengorbanan nyawa manusia dan harkat
kemanusiaannya jelas tidak dibenarkan dalam ajaran Islam dan agama mana pun.
Untuk itu, Ibrahim tampil menegakkan martabat kemanusiaan sebagai dasar bagi
agama tauhid, yang kemudian dilanjutkan oleh Nabi Muhammad dalam ajaran Islam.
Ali
Syari’ati mengatakan bahwa Tuhan Ibrahim itu bukan Tuhan yang haus darah manusia,
berbeda dengan tradisi masyarakat Arab saat itu, yang siap mengorbankan manusia
sebagai “sesaji” para dewa. Ritual kurban dalam Islam dapat dibaca sebagai
pesan untuk memutus tradisi membunuh manusia demi “sesaji” Tuhan. Manusia, apa
pun dalihnya, tidak dibenarkan dibunuh atau dikorbankan sekalipun dengan klaim
kepentingan Tuhan.
Lebih
dari itu, pesan Iduladha (Kurban) juga ingin menegaskan dua hal penting yang
terkandung dalam dimensi hidup manusia (hablun minannas). Pertama, semangat
ketauhidan, keesaan Tuhan yang tidak lagi mendiskriminasi ras, suku atau
keyakinan manusia satu dengan manusia lainnya. Di dalam nilai ketauhidan itu,
terkandung pesan pembebasan manusia dari penindasan manusia lainnya atas nama
apa pun. Kedua, Idul Adha juga dapat diletakkan dalam konteks penegakan
nilai-nilai kemanusiaan, seperti sikap adil, toleran, dan saling mengasihi
tanpa dilatarbelakangi kepentingan-kepentingan di luar pesan profetis agama itu
sendiri.
Masalahnya,
spirit kemanusiaan yang seharusnya menjadi tujuan utama Islam, dalam banyak
kasus tereduksi oleh ritualisme ibadah-mahdah. Seakan-akan agama hanya media
bagi individu untuk berkomunikasi dengan Tuhannya, yang lepas dari kewajiban
sosial-kemanusiaan. Keberagamaan yang terlalu teosentris dan sangat personal
itu, pada akhirnya terbukti melahirkan berbagai problem sosial dan patologi
kemanusiaan.
0 komentar:
Posting Komentar